Oleh : Agus jiddan
GEMPITA. Langit legam gemerlap oleh cahaya. Memburat kilat yang mempertontonkan keangkuhan tak terhingga, hasil rupiah sia-sia yang ditukarkan oleh kembang api yang tak lain merupakan kolaborasi pembakaran oksidator dan belerang serta sejumlah zat kimia, topeng keindahan sesaat dunia. Jalan-jalan raya pada segenap penjuru dunia, tak terkecuali Indonesia ditumpahi manusia beragam usia, berpawai ria. Hasil taklid buta atas kekufuran yang dibalut reka kemegahan oleh media.
Kita mengikut. Mengajak kerabat dan orang-orang terdekat turut merayakannya. Melukis satu momen ‘rutinan’ yang menggembirakan. Meniup terompet, menyalakan kembang api, makan-makan bersama. Adalah aktivitas yang ‘wajib’ dilakukan demi menegaskan suka-cita. Ribuan lapangan dipasangi panggung mempertontonkan wanita ‘seksi’ berjoged
ria. Nyaris seluruh stasiun televisi menyiarkan asupan yang semakin membakar semangat bertaklid buta. Tak peduli di penjuru mana saja.
ria. Nyaris seluruh stasiun televisi menyiarkan asupan yang semakin membakar semangat bertaklid buta. Tak peduli di penjuru mana saja.
Tepat pukul dua belas malam. Waktu yang dinantikan akhirnya tiba. Saat itulah Tahun Masehi berganti. Puncak acara dimulai.
Tahun baru masehi. Sedemikian lekat dengan ummat. Tapi tahukah kita apa makna perayaan tahun baru masehi sesungguhnya? Sudah cukupkah pengetahuan kita akan makna ‘hari istimewa’ itu sehingga kita merasa ‘pantas’ merayakannya sedemikian gembira?
Tahun baru masehi. Sedemikian lekat dengan ummat. Tapi tahukah kita apa makna perayaan tahun baru masehi sesungguhnya? Sudah cukupkah pengetahuan kita akan makna ‘hari istimewa’ itu sehingga kita merasa ‘pantas’ merayakannya sedemikian gembira?
Padahal jauh-jauh hari Allah SWT sudah memperingatkan kita dengan pola pembahasaan yang sedemikian lembut-menusuk, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya,” (QS Al Isro’ ; 36).
Sejarah Tahun Baru Masehi
Makna perayaan tahun baru masehi pada 1 Januari dapat kita lihat pada The World Book Encyclopedia tahun 1984, volume 14, halaman 237. “The Roman ruler Julius Caesar established January 1 as New Year’s Day in 46 BC. The Romans dedicated this day to Janus , the god of gates, doors, and beginnings. The month of January was named after Janus, who
had two faces – one looking forward and the other looking backward.”
had two faces – one looking forward and the other looking backward.”
Pengertian dalam Ensiklopedia Dunia tersebut jika diterjemahkan kurang lebih : “Penguasa Romawi Julius Caesar menetapkan 1 Januari sebagai hari permulaan tahun baru semenjak abad ke 46 SM. Orang Romawi mempersembahkan hari ini (1 Januari) kepada Janus, dewa segala gerbang, pintu-pintu, dan permulaan (waktu). Bulan Januari diambil dari nama Janus sendiri, yaitu dewa yang memiliki dua wajah – sebuah wajahnya menghadap ke (masa) depan dan sebuahnya lagi menghadap ke (masa) lalu.” (Sosok dewa Janus dalam mitologi Romawi)
Saya pribadi merasa sebenarnya “pengertian” tersebut di atas sudah cukup menegaskan segenap kekeliriuan yang kerap kita tiru terkait perayaan tahun baru masehi. Menganggap benar keberadaan ‘dewa’ saja sudah merupakan suatu dosa, apalagi merayakannya?
Perayaan Tahun Baru Masehi di Beberapa Negara Sekutu Islam
Mari kita bahas satu per satu untuk mejernihkan pikiran yang mungkin terlalu terkontaminasi oleh kebiasaan merayakan atau minimal mengistimewakan 1 Januari.
Pertama. Dewa Janus yang disebutkan sebelumnya merupakan sesembahan kaum Pagan Romawi. Kaum Pagan adalah suatu kaum yang dalam bahasa kita disebut kaum kafir penyembah berhala. Kaum Pagan hingga kini biasa memasukkan budaya mereka ke dalam budaya kaum lainnya, sehingga terkadang tanpa sadar kita mengikuti mereka. Kaum Pagan sendiri biasa merayakan tahun baru mereka (atau Hari Janus) dengan mengitari api unggun, menyalakan kembang api, dan bernyanyi bersama. Kaum Pagan di beberapa tempat di Eropa juga menandainya dengan memukul lonceng atau meniup terompet.
Coba lihat persamaan ‘ritual’ yang saat ini turut kita lakukan dan diwariskan turun-temurun kepada anak, keponakan, cucu, dan generasi-generasi muda islam saat 1 Januari tiba. Perayaan tak berdasar yang menjadi hal ‘biasa’ karena terlalu ‘terbiasa’.
Kedua. Menurut kepercayaan orang Jerman, jika mereka makan sisa hidangan pesta perayaan New Year’s Eve (Tahun Baru) di tanggal 1 Januari, mereka percaya tidak akan kekurangan pangan selama setahun penuh.
Ketiga. Dalam kepercayaan umat Nasrani yang mayoritas menduduki belahan dunia bagian Barat, tahun baru Masehi dikaitkan dengan kelahiran Yesus Kristus. Itulah sebab agama Nasrani sering juga disebut agama Masehi. Dalam kepercayaan Nasrani, masa sebelum lahirnya Yesus Kristus dikenal sebagai masa Sebelum Masehi (SM) dan masa kelahiran Yesus disebut sebagai tahun Masehi.
Keempat. Sedangkan bagi umat Majusi (kaum kufur penyembah api) yang ada di Persia, tahun baru masehi diperingati sebagai “Hari Raya Agama Mereka”. Mereka menyebut hari raya tersebut sebagai Hari Nairuz/Narus. Nairuz memiliki arti tahun baru dan mereka meyakini pada tahun baru tersebutlah Tuhan menciptakan cahaya sehingga mereka yang tak lain
adalah penyembah api teramat menilai mulia hari tersebut. Perayaan “Hari Raya” kaum majusi dilakukan dengan segenap kefasikan meliputi ritual meniup terompet, bersenang nan berfoya ria. Mereka berkumpul di pantai dan jalan-jalan, bercampur-baur lelaki dan perempuan, bergembira dengan menyanyi dan menari-nari serta berteriak-teriak sepanjang malam.
adalah penyembah api teramat menilai mulia hari tersebut. Perayaan “Hari Raya” kaum majusi dilakukan dengan segenap kefasikan meliputi ritual meniup terompet, bersenang nan berfoya ria. Mereka berkumpul di pantai dan jalan-jalan, bercampur-baur lelaki dan perempuan, bergembira dengan menyanyi dan menari-nari serta berteriak-teriak sepanjang malam.
Sekali lagi, cobalah dengan segenap logika kita menarik “persamaan” ritual yang terjadi di lingkungan kita, di sekeliling kita, di kampus kita, bahkan di negara kita. Tidakkah kita turut melakukan ritual serupa?
Lantas “saudara-saudara seiman dan se-Tuhan” kita akan mencela mentah-mentah segenap fakta yang kita ungkapkan terkait kekeliruan yang terlanjur mendarah daging tersebut. Kalimat-kalimat menolak standar : “Ah, tergantung niat kali!” atau malah yang lebih parah “Merayakan tahun baru itu bukti syukur, karena kita mensyukuri waktu yang masih diberikan Tuhan untuk kita, makanya kita merayakannya!”.
Nah, lho? Mensyukuri dengan cara mengikuti kebiasaan nan ritual penentang Allah pernahkah dibenarkan? Bahasa lainnya sama saja Anda memasang pohon natal dan pergi ke gereja tapi ngotot mengakui itu sebagai ibadah yang islami. Sama-sama ‘ritual’ kan? Bukankah pada point 3 di atas dijelaskan dengan gamblang bahwa Tahun Baru Masehi adalah merupakan “Hari Raya Agama Majusi” yang tak lain sama dengan agama-agama selain Islam yakni kufar penyekutu Allah SWT?
Umat Islam dan Tahun Baru Masehi Hari Ini
Beranjak ke daerah wisata termasyhur Indonesia, Puncak Bogor. Pada Tahun Baru Masehi 2012, salah satu koran kenamaan kota hujan yang dikenal dengan Harian RADAR Bogor edisi Selasa (4/12/12) memuat artikel berjudul “Belanja Syahwat Kota Bogor Rp 74 M”. Angka yang fantastis melonjak atas pembelian kondom menjelang malam perayaan tahun baru. Lebih fantastis lagi karena angka milyaran tersebut didominasi oleh anak muda bahkan pelajar usia sekolah. Kita tentu bukan anak 5 tahun yang serba polos lantas kembali menyangkal seperti sebelumnya demi mengatakan pembelian kondom dengan jumlah fantastis tersebut juga “Tergantung niat lah!”.
Sejumlah data akurat membuktikan peningkatan kasus seks bebas (dalam hal ini saya lebih suka menyebutnya sebagai kasus ‘perzinahan’, karena ‘seks bebas’ sebenarnya adalah bahasa ‘koran’ yang sengaja dibuat untuk ‘menghaluskan arti’ sedangkan bahasa agama kita menyebutnya dengan istilah ‘zina/perzinahan’ yakni sesuai dengan pembahasaan ‘Al-Qur’an’) terjadi pada malam tahun baru.
Saat semua orang terlena pada perayaan turun-temurun. Kondom dipandang menjadi solusi ‘zina’ dengan cara ‘sehat’. Cukup kreatif jika kita kemudian mengusulkan pada label kondom ditambahkan kalimat ‘zina sehat dengan dosa berkali lipat’. Yang mengaku lebih bisa menjaga diri, sekalipun tidak atau belum terlibat pada perzinahan serupa, minimal turut mendapatkan imbas dosa.
Kerugian pertama, karena merayakan ritual kaum kafir. Kerugian kedua, sholat lima waktu terlalaikan. Kerugian ketiga, keempat dan seterusnya, silakan amati, renungi, dan fahami oleh diri anda sendiri. Lantas, saatnya berisghfar. Kawanku, tidakkah berusaha kita indahkan peringatan kekasih Allah, Rasulullah Muhammad SAW berikut ini; “Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (ada yang menyebutnya lubang biawak), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” [HR. Muslim no. 2669, dari Abu Sa’id Al-Khudri.]
Juga sabdanya ; “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” [HR. Ahmad dan Abu Daud. Syaikhul Islam dalam Iqtidha‘ (1/269) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Irwa’ul Ghalil no. 1269.]
Menyerupai orang kafir (tasyabbuh) ini terjadi dalam hal pakaian, penampilan dan kebiasaan. Tasyabbuh di sini diharamkan berdasarkan dalil Al-Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan para ulama (ijma’). [Lihat penukilan ijma’ (kesepakatan ulama) yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidha’ Ash Shiratil Mustaqim, 1/363, Wazaratu Asy Syu-un Al-Islamiyah, cetakan ketujuh, tahun 1417 H.]
Sikap Kita
Bukankah perayaan tahun baru masehi dengan segudang gempitanya telah menjadi ‘budaya’ yang menasional, bagaimana menyikapinya?
Kalender pun terlanjur merah, Kawan. Mengubah sistem memang tidak semudah membalik telapak tangan. Mau tidak mau si empunya pengatur kalender nasional memang terlanjur ‘memerahkan’ kalender pada 1 Januari. Sekolah-sekolah dan instansi pemerintahan diliburkan, seakan memberi ruang untuk merayakan tahun baru dengan segenap gegap fasiknya. Tapi bukan berarti kita turut pula keterlanjuran menjerumuskan diri pada aktivitas perayaan yang dibahas sebelumnya.
Cukup anggap itu sebagai hari libur biasa, tiada yang istimewa, mengisi waktu dengan banyak memohon ampunan atas taklid buta yang dibenciNya nan terjadi di sekeliling kita. Memohon ampun atas kelemahan diri kita dalam menyampaikan kalamNya sekaligus memohon kekuatan dalam menyampaikan kebenaran. Dan, jangan lupa, semampu kita, sekuat yang kita bisa, sudah menjadi kewajiban kita untuk mengingatkan sekeliling, lingkungan, keluarga, dan siapa saja untuk ‘membatalkan
niat’ merayakan tahun baru masehi. Lho, mana bisa!! Itu penyangkalan yang salah, tentu saja bisa!!…. sampaikanlah walau satu ayat.
niat’ merayakan tahun baru masehi. Lho, mana bisa!! Itu penyangkalan yang salah, tentu saja bisa!!…. sampaikanlah walau satu ayat.
Lalu muncul lagi ‘keraguan’, mengiringi sikap pesimis kita sebenarnya. Keraguan yang memiliki energi cukup kuat agar kita membatalkan niat dalam memberikan ‘peringatan’. Modelnya berupa fikiran sempit ; “Lagipula, walaupun Saya mengingatkan sekeliling atau Indonesia sekalipun, toh perayaan itu tak akan berkurang efeknya. Rasanya nyaris tak mungkin siaran tivi menghentikan asupan panggung-panggung gemerlapnya.
Rasanya hampir tak mungkin seratus persen pemuda kota kita menghentikan niatnya tersebut hanya dari peringatan seorang diri kita yang ‘bukan siapa-siapa’ ini”. Ya, memang benar, benar sekali.
Tapi pikirkanlah sekali lagi, setidaknya dengan memberikan peringatan, kita memiliki sedikit bekal jawaban demi menjawab pertanyaanNya kelak; “Hai, Fulan, Aku mengetahui engkau tidaklah merayakan Tahun baru masehi seperti yang dilakukan kebanyakan saudara-saudaramu di dunia.
Namun yang Kupertanyakan, apa yang kamu lakukan di kala saudara-saudaramu itu merayakan hari fasik itu?”. Minimal dengan kejujuran kita bisa memberikan jawaban ; “Mohon ampun wahai Allah. Aku memperingatkan mereka dengan segenap kemampuanku. Lewat lisan langsung, lewat tulian, lewat media… Aku telah memperingatkan keluarga hingga aku dicela, aku memberi peringatan pada sahabat hingga aku dihina….”
Ya, begitulah, dan seterusnya. Biarkan catatan kelam atas peringatan yang kita sampaikan hari ini menjadi alasan Allah SWT mengampuni kita kelak. Semoga. Bayangkanlah saat kita memilih hanya diam dalam kefahaman. Apakah kelak kita akan menjawab dengan segenap penyesalan ; “Tidak, Ya Allah, tidak. Sekalipun hamba tidak pernah memperingatkan mereka”. Silakan bayangkan saja murka Allah karenanya.
Lebih jauh melihat ke hari esok, tentu kita memiliki harapan lebih besar, penegakkan daulah islamiah di muka bumi ini. Menyampaikan kita pada pemenangan islam. Entah kapan berita bahagia itu akan tiba. Entahlah, yang pasti perjalanan panjang dimulai dari langkah pertama.
Begitupun hasil besar di akhir merupakan penerusan dari hal kecil yang dimulai hari ini. Jangan ragu, mari memulai. Mulailah memperingatkan. Hingga terbiasa. Walahu’alam. []
No comments:
Post a Comment