Tak ingin ku akhiri kisah cinta..
Tetapi sang waktu memutuskannya
Ku harus menerima kenyataan
Bahwa kau bukan lagi milikku
Walaupun rasa bathin ini ..terlalu sakit
Tetapi raga harus meng-ikhlaskan
Semuanya yang pernah terjadi
Karena kenyataan telah berubah
Rasa tak lagi bersama
Kau dan semua lagumu..
Membawa luka dan kepedihan
Walaupun bibir tersenyum
Tetapi hati teriris sembilu
Aku hanya mampu tuk berharap
Semoga keindahan dan kebahagiaan untukmu
Selalu menaungi di atas hidup
Tak letih seperti kisah kita
Dan aku hanya mampu memohon
Semoga di suatu hari nanti
Aku mendapatkan cinta
Walau tak seperti cintamu
Tetapi ku harap membawa kebahagiaan
Sampai di ujung waktu
Seberat apapun..ku harus akhiri
Rasa cinta dan sayang
Karena kenyataan telah berubah
Dan waktu tak lagi menginginkan
Kau bukan lagi untukku
Dalam bayangan dan dalam kenyataan.
Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla
tepat berusia satu tahun pada hari ini, Selasa (20/10/2015). Kabinet
Kerja yang dibentuk Jokowi-JK dimulai dengan berbagai target ambisius.
Slogan "Kerja, Kerja, Kerja" pun ditetapkan untuk mengejar seluruh
target tersebut.
Misalnya, pada bidang ekonomi, Jokowi
menetapkan target pertumbuhan ekonomi 7 persen dalam tiga tahun
mendatang. Pada Januari 2015, Jokowi menyatakan target pertumbuhan
ekonomi pada tahun 2015 ini bisa mencapai 5,8 persen.
Target
ambisius itu meleset. Pada kuartal I dan kuartal II-2015 pertumbuhan
ekonomi tak pernah menyentuh 5 persen, yakni berkisar di level 4,71
persen dan 4,67 persen. Meski terus meleset, Jokowi tak patah arang. Dia
tetap menyuarakan optimismenya, bahkan mengklaim pertumbuhan ekonomi
akan meroket pada bulan September hingga akhir tahun 2015.
"Mulai
agak meroket September, Oktober. Nah, pas November itu bisa begini
(tangan menunjuk ke atas)," kata Jokowi pada 5 Agustus lalu. (Baca: Jokowi: Mulai September, Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Akan Meroket).
Tak
hanya soal ekonomi, persoalan politik pun kerap membuat Jokowi harus
menarik ucapan-ucapannya. Saat kampanye, Jokowi terus menyuarakan bahwa
jabinet yang akan dibentuknya bebas dari bagi-bagi kursi partai politik.
Bagi banyak pihak, pernyataan Jokowi ini membuat orang bertanya-tanya
akan kemampuan Jokowi menahan godaan parpol.
Saat pembentukan
kabinet, sebaran kader partai dan yang berafisiliasi dengan partai
sangat terasa pada Kabinet Kerja bentukan Jokowi-JK. Hal itu berlanjut
saat penunjukan Jaksa Agung HM Prasetyo yang merupakan kader Partai
Nasdem, calon Kapolri Komjen Budi Gunawan yang merupakan mantan ajudan
Ketum PDI-P Megawati Soekarnoputri, hingga penunjukan Kepala BIN
Sutiyoso yang saat itu merupakan Ketum PKPI.
Aroma keterwakilan
parpol hingga ormas pendukung Jokowi-JK semakin terasa saat Jokowi
membentuk Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang di antaranya
diisi kader partai pendukung, Partai Persatuan Pembangunan.
Lainnya,
pada bidang kedaulatan pangan. Jokowi berkali-kali melontarkan cerita
soal betapa malunya dia saat disapa Presiden Vietnam dan ditanya kapan
Indonesia membeli beras lagi dari negara itu.
Ketika berbicara
itu, Jokowi menegaskan tak akan mengimpor beras dan menetapkan target
swasembada beras dalam tiga tahun. Nyatanya, fenomena El Nino terus
berkepanjangan hingga membuat banyak petani gagal panen. Musim kering
diperkirakan terus terjadi hingga bulan Desember. Pemerintah pun membuka
opsi impor beras untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri, salah satu
negara yang dituju adalah Vietnam.
Realistis
Selama
satu tahun menjalankan pemerintahannya, pola komunikasi politik Jokowi
dikritik. Realisasi yang tak sesuai orasi membuat kepercayaan publik
goyah. Hal tersebut disampaikan Analis Politik Pol-Tracking Institute,
Agung Baskoro, saat dihubungi Kompas.com, Selasa (20/10/2015) pagi ini.
"Pola
komunikasi politik demikian kurang tepat mengingat Jokowi adalah simbol
supremasi negara sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
Artinya, mulai sekarang, Jokowi harus lebih realistis sehingga tidak
berulang kali mengecewakan publik," ujar Agung.
Menurut Agung,
realistis bukan berarti Jokowi tidak menepati janjinya atau sebatas
pepesan kosong menimbang kondisi sosial-politik bangsa yang begitu
dinamis dan pengaruh eksternal yang masih kuat memengaruhi keadaan
ekonomi Indonesia.
"Di titik inilah, bila target realistis dan
dapat diraih, perlahan citra publik pemerintah membaik dan legitimasi
presiden dapat segera pulih kembali," kata Agung.