“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta
berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang
memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang
Muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap)
orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada
kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah.
(Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan
pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali
terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan
Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. Dan orang-orang yang beriman
dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang
memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang
Muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka
memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia. Dan orang-orang yang
beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu maka
orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai
hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS Al-Anfal: 72-75)
Dalam konteks hijrah, telah hadir dua kelompok manusia yang secara
bersama mendapat penghargaan dan tempat istimewa di sisi Allah atas
ketulusan pengorbanan dan pengabdian mereka. Dua kelompok tersebut
diabadikan dengan istilah yang indah dalam Al-Qur’an, yaitu Muhajirin dan Anshar. Muhajirin
adalah orang-orang yang dengan suka rela meninggalkan semua yang mereka
miliki beserta tanah air tempat tinggal mereka demi menyambut seruan
Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan kelompok Anshar adalah mereka yang
siap menerima, membela, memberi perlindungan dan bantuan kepada
orang-orang yang berhijrah dengan tanpa mengharapkan imbalan selain
balasan pahala dari Allah swt.
Kedua kelompok manusia ini diabadikan oleh Allah dalam Al-Qur’an dengan penghargaan dan jaminan yang tertinggi Ridha Allah dan surga-Nya yang abadi. Allah SWT berfirman: “Orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan
Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik,
Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di
dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan
yang besar”. (QS At-Taubah: 100).
Yang menarik untuk dicermati dari ayat yang menyebut aktor pelaku hijrah bahwa selain dari kelompok Muhajirin dan Anshar,
Allah masih membuka peluang jaminan dan penghargaan yang sama dengan
mereka bagi siapapun yang mampu mengikuti jejak teladan kedua kelompok
itu dengan baik pasca hijrah yang tersirat dari firman-Nya: “dan
orang-orang yang mengikuti mereka (Muhajirin dan Anshar) dengan baik,
Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di
dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan
yang besar”.
Demikian gambaran hijrah Rasul dengan para sahabatnya dalam konteks
sejarah ayat di atas ternyata sarat dengan nilai perjuangan,
pengorbanan, kepedulian terhadap sesama, kesabaran dan persaudaraan
(ukhuwah) yang melebihi batas kekeluargaan dan kekerabatan karena
direkat dengan ikatan aqidah. Nilai luhur ini merupakan nilai universal
yang berlaku sepanjang zaman pasca sabda Rasulullah saw tentang hijrah: “Tidak ada hijrah setelah pembebasan kota Mekah, tetapi jihad dan niat”. (H.R. Bukhari).
Pelajaran lain dari ayat-ayat hijrah, bahwa aktivitas hijrah tidak
terlepas dan selalu diapit dengan iman sebagai pondasi dan perjuangan
(jihad) sebagai nilai aplikatif dari hijrah. Pendampingan dan pengapitan
hijrah dengan iman dan jihad di dalam Al-Qur’an tentu bukan sebatas
memenuhi standar keindahan bahasa Al-Qur’an, tetapi lebih dari itu
terdapat nilai dan hikmah yang dikehendaki oleh Allah agar kita
senantiasa memaknainya; bahwa hijrah memang merupakan bukti ketulusan
iman seseorang, sedangkan jihad merupakan buah sekaligus konsekuensi
logis dari aktivitas hijrah. Iman tanpa hijrah tidak akan bermakna,
begitu pula hijrah tanpa jihad berarti tidak berbuah. Makanya
pendampingan ini berulang sebanyak sembilan kali, diawali dengan surat
Al-Baqarah: 218 yang berbunyi: “Sesungguhnya orang-orang yang
beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka
itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang
berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat
Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Kemudian
disusul secara berurutan dengan surat Ali Imran: 195, Al-Anfal; 72-75,
At-Taubah: 20, An-Nahl: 41 dan 110, serta surat Al-Hajj: 58.
Semua ayat yang berbicara tentang hijrah di atas adalah dalam konteks hijrah makaaniyyah
(hijrah fisik; perpindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain) untuk
mempertahankan aqidah. Terdapat hanya satu ayat yang berbicara dalam
konteks hijrah ma’nawiyyah (hijrah nilai; berubah dari satu keadaan menuju keadaan yang lebih baik), yaitu firman Allah swt: “Maka
Luth membenarkan (kenabian)nya. Dan berkatalah Ibrahim: “Sesungguhnya
aku senantiasa berhijrah kepada Tuhanku; sesungguhnya Dialah Yang Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Al-Ankabut: 26). Dan di antara yang harus ditinggalkan dalam konteks hijrah ma’nawiyyah
seperti yang pernah Allah perintahkan kepada Rasulullah di era awal
turunnya Al-Qur’an adalah perbuatan dosa dan maksiat seperti firman-Nya: “Dan perbuatan dosa tinggalkanlah” (QS Al Muddatstsir: 5).
Bagi setiap orang beriman, siapapun dia, apakah rakyat atau pejabat, penguasa atau rakyat jelata, menteri atau tukang patri, anggota DPR atau penjual ember, pemikir atau tukang parkir, dan lainnya, peristiwa hijrah makaaniyyah
yang sangat kondisional dan mungkin tidak akan berulang sebagaimana di
era Rasul, tetapi nilai dan pelajarannya masih tetap relevan, yaitu
tentang kesabaran, kesiapan berkorban dan berjuang, kepedulian terhadap
sesama, persaudaraan yang dibangun atas dasar iman dengan itsar (mendahulukan kepentingan orang lain, di atas kepentingan pribadi) sebagai peringkat yang tertinggi, dan ta’aawun
(saling menolong) untuk memperkuat posisi Islam dan umatnya. Kehidupan
sosial yang ideal dan harmonis justru dirasakan oleh para sahabat saat
peristiwa hijrah berlangsung. Ditambah dengan hijrah ma’nawiyyah
yang merupakan media komunikasi dan harmonisasi hubungan dengan sang
Khaliq. Semoga nilai dan pelajaran hijrah akan senantiasa mewarnai
kehidupan kita menuju kehidupan yang lebih baik di bawah naungan rahmat
dan ridha Allah SWT. Sungguh betapa bernilai memang pelajaran hijrah
para sahabat Rasul sehingga layak dijadikan momentum untuk melakukan
perubahan dan perbaikan arah yang lebih baik, baik dalam skala pribadi,
keluarga, dan sosial. Inilah saat terbaik untuk berkomitmen memulai
hijrah…
No comments:
Post a Comment